Wednesday, April 18, 2007

APA YANG KAU CARI?

1/
Sang Fajar telah tiba,
Merekah, merona merah menyapa alam mayapada
Teriringi kokok ayam jantan, bersahut-sahutan menyambut datangnya mentari
Tetesan embun, berkelap-kelip gemilang membiaskan sinar Sang Surya
Menentramkan jiwa, membasuh kalbu, mata terkhidmat memandang.

Gemerisik daun bambu terhembus semilir angin musim hujan
Berdendang syahdu membisikkankan nyanyian karunia segala zaman
Gemericik air sungai di antara bebatuan,
Mendesahkan kedamaian nan tersembunyi dibalik pergerakan alam.

Sayup-sayup terdengar suara seruling bambu.
Ditiup bocah hitam legam penunggang kerbau di sebuah ladang.
Sederhana lagu nan terlantun, namun penuh rasa ikhlas dan syukur,
Atas karunia Sang Pencipta yang termaktub pada alam semesta.

2/
Teeeettt, Brmmmm, Cittttt, Setan, Anjing, Babi,
Bermaki-makian benda mati dan makhluk hidup
Di sebuah belantara berpohonkan beton,
Beralaskan aspal, beratapkan asap, dan berlagukan suara mesin terseling makian

Penghuninya berwujud manusia,
Namun wajahnya selalu tertekuk ke dalam, suram-muram, serta liar matanya
Pandangannya selalu tertuju ke depan,
jarang melihat ke bawah mensyukuri bumi,
maupun menengadah ke atas mengagungkan luasnya langit.
Kalaulah tertunduk kepala ke bawah, itu karena perasaan rendah diri,
Kalaulah terangkat dagu ke atas, kepongahan hatinya seolah Tuhan mayapada ini.

Hanya satu tujuan hidupnya, mengumpulkan kertas-kertas berangka.
Pada kertas inilah terjanjikan kenikmatan dari dunia ruang dan waktu.
Pada kertas ini pulalah terjanjikan kekuasaan atas sesamanya.
Demi kertas itu, hati nurani rela tergadaikan, berkhianat pada Tuhan pencipta setan.

Jiwa mereka t’lah terpenjara dalam darah dan dagingnya sendiri.
Tiada lagi kedamaian batin, melainkan hanya pemuasan nafsu duniawi
Di kala terbangun, jiwanya tertidur; di kala tidur, jiwanya terbangun.
Kala berjalan, cepat sekali langkahnya bak tertohok bokongnya oleh bambu

Manakala jiwa-jiwa yang sakit itu semakin terombang-ambing dalam keraguan,
terhanyut dalam kesepian, serta dikejar rasa ketakutan,
air kata-kata menjadi obat pelipur lara.
Gemerlap lampu diskotik, serta gerak tari erotis perempuan malam,
menjadi hiburan penyesat jiwa.

Di hutan belantara itu, sang fajar enggan merekah.
Kokok ayam jantan tersenyap oleh deru mesin-mesin.
Embun pun enggan menetes, tak ada dedaunan segar tempat bermesraan.
Tiada gemerisik dedaunan dibelai oleh semilir angin,
Yang ada hanyalah angin panas bercampur debu menerpa muka-muka keras penghuninya
Menambah kerut merut di dahi serta kerasnya hati.

3/
Inilah hutan metropolitan
Di mana penghuninya t’lah menjadi budak sang waktu.
Di mana manusianya menjadi pengikut nafsu angkara murka.
Di mana jiwa-jiwa penggerak jasad t’lah bersujud pada kenikmatan duniawi.
Di mana mereka semua percaya bahwa kebahagiaan didapat melalui pemenuhan nafsu

Apabila makhluk-makhluk ini diperintahkan berkaca, gemetarlah seluruh tubuh mereka.
Terlihat kerut-merut di dahi menemani garis-garis keras otot muka.
Kala mereka paksakan diri tersenyum, hambar dan tiada makna.
Tertegun diri mereka; bertanyalah mereka serta merta: “Inikah diriku? Inikah diriku?”

Namun semua t’lah terlambat, mereka t’lah tenggelam terlalu dalam;
tak kuasa mereka khazankan hati untuk kembali ke permukaan.
Sampai tiba nanti saatnya, di kala badan lumpuh tiba-tiba,
atau jantung berhenti berdenyut serta merta, karena hasrat melampaui daya.
Di saat itu pulalah cermin tempat mereka berkaca pecah berhamburan,
menjadi kepingan-kepingan nan tak mungkin direkatkan kembali

4/
Nun jauh di sana,
Di antara padi-padi yang menguning, di tengah semilir angin beraromakan tanah dan rerumputan, sang anak gembala penunggang kerbau masih asik berkemasyuk diri dengan serulingnya.
Lantunan suara seruling bambu, berbaur dengan kicau burung di ladang, menambah indah dan khidmatnya hari.
Sang surya sepenggalah bersinar dengan hangatnya, membelai lembut tubuh sang bocah.

Jernih nian sinar matanya, senyum enggan terlepas dari bibirnya.
“Kala kupulang siang nanti, ibu pasti telah menyiapkan sayur daun singkong kesukaanku”, pikir sang bocah sambil tersenyum lepas.
Mentari pun tersenyum, pepadian pun menari gemulai bersama semilir Sang Angin
Bumi pun berbahagia, tiada segannya menumbuhkan kekayaan nabati.
Air sungai pun ikut beriak dengan riangnya, mengalir menyuburkan
Alam persada turut berbahagia bersama si anak gembala penunggang kerbau

Esok harinya, sang fajar kembali merekah dengan agungnya,
Ayam jantan kembali berkokok bersahut-sahutan dengan nyaringnya
Embun pagi kembali menetes menyejukkan pagi
Dedaunan bambu kembali bergemerisik berdendang ria
Dan sang anak gembala kembali melantunkan lagu dengan seruling bambunya.
Alam semesta berpadu penuh khidmat menyuarakan kedamaian.

5/
Pada belahan lain bumi pertiwi,
Di sela-sela belantara beton.
Zombie-zombie berwujud manusia memulai aktivitas mereka.
Menggadaikan hati nurani , mengejar uang, dan dikejar sang waktu.
Menggapai bahagia nan tak kunjung datang

Tiada ingatkah mereka bahwa air sungai pun
kan kembali ke lautan?
Menjadi ombak dan kembali ke tepian.
Pecah berhamburan menjadi buih-buih nan tiada arti.

Wahai sang anak gembala, bantulah jiwa-jiwa yang t’lah tersesat jalan itu.
Ulurkanlah tanganmu, ajaklah mereka bersama dikau menunggang kerbau,
Bersama-sama meniup seruling, bermesraan dengan alam persada.
Agar terbuka mata mereka akan indahnya dunia,
Supaya terbuka mata hati mereka akan khidmat kehidupan.
Agar hati bertaut rasa, dan kalbu bertumpu rasa
Dan mungkin saja, terkecap jua oleh mereka apa yang dinamakan bahagia

By:
Muhammad Iqbal
February 16, 2001
Kusumaatmaja 61

No comments: