Monday, March 24, 2008

A Journey to Enlightenment: The Raise of Rural Communities

A Journey to Enlightenment: The Raise of Rural Communities

Sunday, October 21, 2007

The Raise of Rural Communities


Selasa (19/6), difasilitasi rekan dari BAPPENAS, kami diundang Mr. Jos Lukuhay dan rekan-rekan untuk membahas "mimpi" to interconnect microfinance institutions, to bank the un-banked and to better off rural communities.

Master Reza yang seharusnya ikut, ternyata harus ke Indosat untuk menentukan hidup matinya Indosat hari itu :). Terpaksa, saya harus merepotkan DR. Nicolas Negroponte untuk menemani.

Mr.Lukuhay (ex Dirut Lippobank, ketua ATPI , deTIKnas) didampingi DR. Eko Indrajit dan 7 rekan lainnya untuk menghadapi kami berdua (mungkin karena kehadiran Negroponte :))). Setelah saya memaparkan konsep dan implementasi interkoneksi Lembaga Keuangan Mikro ("LKM") yang telah kami jalankan selama ini, berikut adalah potensi symbiosis yang dapat kami retas bersama mereka:

  1. Program telecenter BAPPENAS dan deTIKnas akan lebih efektif dan efisien bilamana dikelola oleh LKM binaan kami, dibandingkan harus merekrut dan membina SDM baru untuk swakelola. Infomobilisasi system kami akan menciptakan insentif tersendiri bagi LKM untuk mengelola telecenter. Di sini kami bisa membantu mereka.
  2. Back end bank to bank clearing and settlement yang menjadi hambatan kami selama ini, semestinya akan lebih cepat terselesaikan melalui sinergi dengan mereka. Di sini mereka bisa membantu kami.
  3. Stored value dalam card, yang akan mereka kerjasamakan dengan Visa/ Mastercard dan menjadi sarana channeling dana dari luar, akan dijajaki untuk menjadi bagian dari layanan kami kepada LKM dan nasabah.
  4. Melanjutkan penjajakan kerjasama dengan Grameen Foundation, baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama, dengan harapan mereplikasi karya cipta kita di negara lain yang membutuhkan.

Mereka menugaskan DR. Eko Indrajit dan beberapa rekan untuk menjadi tim counterpart untuk technical meeting selanjutnya. Tampaknya kami akan menugaskan Negroponte menjadi padanannya :).

Singkat kata, seperti yang dikatakan Goethe, "Thinking is easy. Action is difficult. However, to put one thought into action, that the most difficult thing to do in the world". Di saat orang-orang masih berpikir, kami sudah bertindak. Mungkin itulah yang membuat kaum paminggir seperti kami mampu melantunkan kidung pamungkas yang menghenyakkan para raja dari peraduannya.

PR kami adalah memperkuat silaturahmi dengan jaringan akar rumput. The roadshows harus kami tingkatkan. Peralatan perang (system) harus diselesaikan dan disempurnakan. Speed, simplicity and boldness harus terus menjadi ruh peperangan ini.

Wednesday, April 18, 2007

MENCINTAI PEKERJAAN ANDA

Cinta! Sebuah kata magis nan erotis. Pemaknaan cinta erotis yang terwujud dalam tindakan dapat meluluhlantakkan suatu negeri, seperti banyak dikisahkan dalam era kekaisaran Romawi. Di lain sisi, perpaduan cinta erotis dan cinta Tuhan mampu menggerakkan Syah Jehan mendirikan karya arsitektur teragung dan terindah sepanjang zaman, yaitu Taj Mahal. Cinta, apapun pengertian dan pemahaman di dalamnya serta apapun objek dan tujuannya, tak pelak lagi merupakan kekuatan penggerak teramat besar dalam bergagas, berpikir dan bertindak sehingga mampu membawa perubahan di sekeliling kita. The moment we indulge our affections, the earth is metamorphosed (Emerson).

Lalu apa kaitan antara cinta dan pekerjaan anda? Cinta lahir dari kebebasan. Cinta tidak akan terwujud karena paksaan. Namun, apapun jenis pekerjaan yang anda geluti saat ini, baik sebagai eksekutif pemasaran, pengacara, bankir maupun pengusaha, berapa banyak dari anda yang menjalaninya tanpa adanya suatu paksaan? Anda yang saat ini berprofesi sebagai pengacara di sebuah Law Firm terkemuka, siapa tahu dulu bercita-cita menjadi tenaga sosial dalam program penanggulangan kelaparan pada sebuah negara tertinggal di benua Afrika. Tetapi, karena dorongan keluarga dan tekanan urban llifestyle, anda terpaksa meniti karir di bidang hukum.

Bahkan sampai saat inipun anda terpaksa mengikuti peraturan kerja yang telah digariskan oleh kantor anda. Masuk kerja pukul 9 pagi, menyusun laporan-laporan, pulang kerja pukul 5 sore dan ditambah kemacetan lalu lintas, menjadi rutinitas sehari-hari. Bila bekerja dilakukan dengan terpaksa, maka apalah perbedaan anda dengan sebuah excavator, yang 12 jam sehari dan 6 hari seminggu dipaksa menggali bahan galian tambang, sampai habis umur ekonomisnya dan menjadi besi tua rongsokan?

Cinta bukanlah masalah untuk dicintai, namun kemampuan untuk mencintai. Bagaimana mungkin anda mampu mencintai pekerjaan anda saat ini, bila pekerjaan tersebut lahir dan dijalani karena keterpaksaan? Beruntunglah orang-orang yang mempunyai kebebasan dalam menentukan pekerjaannya. Tentu mereka mampu mencintai pekerjaannya.

Saya teringat beberapa tahun yang silam kedatangan seorang nenek dari sebuah yayasan penyebaran agama Islam di pedalaman Irian. Penuh gairah beliau bercerita betapa menyenangkannya mendapatkan anak-anak suku asli pedalaman Irian dengan ditukarkan sembako ke orang tuanya, sampai dengan suka duka dalam mendidik anak-anak tersebut. Dapatkah anda bayangkan, beliau datang ke rumah kami dengan angkutan umum untuk mengambil barang sumbangan yang kami janjikan, yang kemudian dipanggul dengan tubuh bongkoknya, tanpa mau kami antarkan sama sekali. Dan itu semua beliau lakukan dalam usia yang sudah mendekati 80 tahun pada saat itu. Cinta dan pengabdian kepada Tuhan dan anak-anak mampu memberikan energi luar biasa kepada tubuh renta tersebut untuk membawa suatu perubahan nun jauh di pedalaman Irian.

Kemudian, bagaimana dengan anda (termasuk saya sendiri) yang tidak memiliki keberuntungan untuk dapat memilih pekerjaan yang dikehendaki? Bila kita tidak mampu merubah suatu keadaan, maka ubahlah cara pandang kita terhadap keadaan tersebut. Walaupun kita terpaksa menggeluti pekerjaan kita saat ini, kita bebas metentukan tujuan-tujuan dari hasil kerja kita. Hasil kerja yang berupa materi dapat ditujukan untuk menafkahi keluarga, berderma untuk kaum papa atau disimpan untuk mewujudkan cita-cita. Pandanglah pekerjaan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Jika kita bebas menentukan tujuan, maka kita mampu untuk mencintainya. Dan tentunya kita mampu mencintai alat pencapaian tersebut, yaitu pekerjaan kita.

Cinta bukanlah suatu perasaan senang sesaat, namun suatu seni yang membutuhkan pengetahuan dan perjuangan. Salah satu ciri dari cinta adalah memberi. Pekerjaan kita, apapun itu, tentu akan selalu berhubungan dengan orang lain. Bahkan seorang pelukis pun membutuhkan pemasok kanvas dan cat minyak. Dalam belajar mencintai pekerjaan kita, mulailah dengan belajar memberi kepada orang-orang yang berhubungan dengan pekerjaan kita. Belajarlah memberi dengan penuh ketulusan hati dan tanpa pamrih apapun. Everything that lives, lives not alone, nor for itself (William Blake).

Coba dengarkan dan resapkan ucapan terima kasih dari orang yang menerima pemberian tulus kita. Saya yakin kita akan merasakan kesejukan dan kegembiraan yang luar biasa dalam lubuk hati. Mulailah kebiasaan memberi tersebut dari hal yang paling sederhana, yaitu sebuah senyum tulus. Berikanlah senyum tulus kepada teman sejawat, atasan maupun bawahan kita. Resapkanlah kegembiraan hati yang kita terima dari senyuman balik mereka. Rasakanlah cinta bersemi dalam lingkungan kerja kita. Man is but a network of relationships and these alone matter to him (St. Exupery).

Ketika kita mampu mencintai pekerjaan kita, bekerja bukanlah suatu beban lagi, malahan menjadi sarana untuk membawa suatu perubahan dan menjadi ajang aktualisasi diri. Walaupun perubahan yang kita ciptakan hanyalah sebatas lingkungan kerja penuh senyum tulus, namun itu sangatlah berarti bagi kebanyakan kita, manusia-manusia urban yang sudah impotent tersenyum menyapa mentari pagi. We are each of us angels with only one wing. And we can only fly embracing each other (Luciano de Crescenzo).

MENGAPA AKU DICIPTAKAN

Sudah jam 3 pagi, proposal belum selesai juga. Pikiran buntu, punggung pegal dan ditambah perut keroncongan karena terakhir diisi sore tadi. Untungnya masih ada Stirling Rocks (Australian Cabernet Shiraz) setengah botol. Ahh, minuman kesukaan Umar Kayyam ini memang benar-benar manjur untuk melangutkan imajinasi, membawa ingatan ke masa lampau, 15 tahun yang lalu.

15 tahun yang lalu, masa-masa di SMA, botol yang kucekik dan tuangkan isinya ke dalam perut adalah VODKA dengan kadar alkohol 40%. Setiap hari bisa kuhabiskan 1 botol sendiri. Aku bukan pemabuk. Namun kuharap alkohol yang bersenyawa dengan darah dapat memabukkan diriku sehingga dapat berhenti berpikir, karena kala itu aku takut untuk berpikir. Aku takut berpikir untuk menjawab pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam benak semenjak di SMP. Pertanyaan itu adalah: Mengapa Tuhan menciptakan manusia, alam semesta dan segala isinya, padahal Tuhan tidak membutuhkan makhluk-Nya untuk keberadaan-Nya?

Pernah kutanyakan pertanyaan itu kepada seorang guru agama Islam di SMA. Beliau mengatakan bahwa di dalam sebuah ayat Al Quran, Allah SWT berfirman,"Tidak akan Aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk menyembah kepada-Ku." Jadi menurut beliau, alasan kita diciptakan adalah untuk menyembah kepada Tuhan. Jawaban yang pas berdasarkan dalil naqli, namun tidak masuk akal bagiku. Inti pertanyaanku adalah mengapa kita diciptakan, bukannya harus melakukan apa setelah diciptakan. Lagipula Tuhan, Sang Kausa Prima bukanlah suatu zat yang gila sembah.

Keinginan mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut membawaku ikut pengajian PARAMADINA, yang pada saat itu masih baru dibuka di pertokoan Plasa Pondok Indah. Dari beberapa kali lontaran pertanyaan kepada para pengajar disana, salah satu jawaban yang kuingat berasal dari Bapak Zainun Kamal. Beliau mengatakan, menurut Hadith Qudsi, Allah SWT mengatakan,"Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, oleh karena itu Aku berkehendak untuk dikenal oleh makhluk-Ku." Intinya menurut beliau, segala penciptaan cosmos terjadi karena Sang Khalik berkehendak demikian. Namun jawaban itu tetap belum memuaskan batin karena belum menjawab esensi pertanyaanku, yaitu mengapa terjadi penciptaan kalaulah yang menciptakan tidak membutuhkan ciptaan-Nya. Kalau dianalogikan, untuk apa seseorang menciptakan sesuatu yang tidak dia butuhkan? Untuk iseng-iseng mengisi waktu kah? Naudzubillahi min Dzalik. Dan saya yakin Sang Pencipta bukanlah zat yang berkehendak karena iseng.

Beberapa kali aku berdiskusi dengan Mas Komarudin Hidayat, baik di rumahnya maupun di rumahku. Jawabah beliau bahwa Tuhan adalah Ar Rahman, maka sebagai pengejawantahan kasih-Nya, Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala isinya ini. Aku berterima kasih atas kesempatan diskusi tersebut. Sayangnya, jawaban itu pun masih belum dapat memuaskan batin ini.

Tatkala aku mencoba memecahkan pertanyaan tersebut, kadangkala urat-urat nadi di leher mengejang kencang dan kepala panas serasa mau pecah, karena mencoba menyelami persoalan yang tidak ada referensinya dalam dunia, dimana referensinya ada sebelum dunia ini ada, sebelum Big Bang terjadi. Biasanya aku langsung membenamkan kepala ke dalam bak mandi, untuk mendinginkan kepala dan menenangkan pikiran, karena takut menjadi gila.

Pernah sampai satu kesimpulan bahwa aku diciptakan karena keisengan Tuhan. Dan aku meminta ibuku, sebagai makhluk yang melahirkan diriku ke dunia, untuk mengambil nyawa ini, karena aku tidak mau diciptakan sebagai korban keisengan Tuhan. Aku tidak mau hidup, tapi takut bunuh diri. Hampir setiap hari aku berkelahi, berharap mati dalam pertarungan, namun sayangnya jangankan mati, kalah bertarungpun tak pernah. Naik gunung telanjang, berbekal hanya 1 bungkus Indomie, 1 botol aqua plus 2 botol vodka beberapa kali kutempuh. Ternyata bukan kematian yang kudapat, melainkan hanya masuk angin sampai muntah-muntah dan dikerok tukang pijit langgananku sesampainya di rumah. Itulah alasanku minum VODKA setiap hari. Karena aku takut berpikir.

Sepanjang proses pencarian, akhirnya kudapat secercah cahaya terang kala mengikuti pesantren kilat di daerah Puncak. Di bawah langit penuh bintang, aku berdiskusi semalaman dengan Imam Besar Mesjid Istiqlal. Beliau tidak memberikan jawaban, melainkan jalan dan affirmasi bahwa proses pencarianku tidaklah salah. Beliau menceritakan kisah Ibrahim mencari Tuhan. Bagaimana Ibrahim melalui proses meyakini dan meragukan benda-benda langit sebagai Tuhan, sampai akhirnya Ibrahim menemukan esensi ke-Tauhid-an, adalah suatu perjalanan panjang. Beliau menyitir beberapa ayat Al Quran dalam surat Ar Rahman yang kesimpulannya bahwa Tuhan mempunyai Rahasia-Rahasia dan makhluknya diperbolehkan untuk berusaha mengetahuinya, namum hanya orang-orang tertentu yang mampu menembus Rahasia-Rahasia-Nya.

Ternyata bukan jawaban yang aku butuhkan. Jalan atau Cara atau "The Way" lah yang kuperlukan. Ibarat pepatah Indian, "Jangan berikan dia ikan. Ajarkanlah ia bagaimana mengail ikan," maka petuah beliau selalu melekat dalam benak, terpatri dalam sanubari.

Sampai beberapa bulan kemudian, di pagi hari, aku mendengar suara teriakan berulang-ulang di telinga dan masuk lubuk hati. Suara yang menggetarkan seluruh simpul saraf di tubuh ini, memberikan jawaban atas pertanyaan yang sudah berkecamuk di pikiran, hati dan kalbu selama lebih dari 5 tahun. Tuhan Maha Besar. Kini aku masih minum, walau hanya sebatas anggur. Namun kini, aku minum anggur untuk mengapresiasi nikmat kehidupan yang telah diberikan kepadaku.

GITA TANPA ASA

Tuhan,
Tlah kau buta-tuli-kan penglihatan dan pendengaran-ku,
Beku-tawar-kan hati dan sanubari-ku.
Luluh-lantak-kan impian dan harapan-ku

Tiada lagi senyum terkembang
Tiada lagi dendang riang
Tiada lagi langkah ringan,
menapak di antara rumput yang bergoyang

Jiwa-ku terbelenggu dalam darah dan dagingku sendiri
Keinginan-ku terhempas oleh seputih tulang semerah darah
Harapan-ku terdampar di pantai kesengsaraan buah kenyataan
Tak kuasa ku-khazan-kan hati tuk kembali arungi lautan angan-angan

Tuhan,
Masih merdu-kah kicau burung di pagi hari?
Masih indah-kah kala mentari terbenam di senja hari?
Masih ada-kah rasa cinta, harapan, dan impian?

Hening…

Sunyi…

Diam membisu…

Daku terpaku, tertunduk,
Lalu tergugu, menangis pilu

by:
M. Iqbal
Medio 2002
Kusumaatmadja 61

APA YANG KAU CARI?

1/
Sang Fajar telah tiba,
Merekah, merona merah menyapa alam mayapada
Teriringi kokok ayam jantan, bersahut-sahutan menyambut datangnya mentari
Tetesan embun, berkelap-kelip gemilang membiaskan sinar Sang Surya
Menentramkan jiwa, membasuh kalbu, mata terkhidmat memandang.

Gemerisik daun bambu terhembus semilir angin musim hujan
Berdendang syahdu membisikkankan nyanyian karunia segala zaman
Gemericik air sungai di antara bebatuan,
Mendesahkan kedamaian nan tersembunyi dibalik pergerakan alam.

Sayup-sayup terdengar suara seruling bambu.
Ditiup bocah hitam legam penunggang kerbau di sebuah ladang.
Sederhana lagu nan terlantun, namun penuh rasa ikhlas dan syukur,
Atas karunia Sang Pencipta yang termaktub pada alam semesta.

2/
Teeeettt, Brmmmm, Cittttt, Setan, Anjing, Babi,
Bermaki-makian benda mati dan makhluk hidup
Di sebuah belantara berpohonkan beton,
Beralaskan aspal, beratapkan asap, dan berlagukan suara mesin terseling makian

Penghuninya berwujud manusia,
Namun wajahnya selalu tertekuk ke dalam, suram-muram, serta liar matanya
Pandangannya selalu tertuju ke depan,
jarang melihat ke bawah mensyukuri bumi,
maupun menengadah ke atas mengagungkan luasnya langit.
Kalaulah tertunduk kepala ke bawah, itu karena perasaan rendah diri,
Kalaulah terangkat dagu ke atas, kepongahan hatinya seolah Tuhan mayapada ini.

Hanya satu tujuan hidupnya, mengumpulkan kertas-kertas berangka.
Pada kertas inilah terjanjikan kenikmatan dari dunia ruang dan waktu.
Pada kertas ini pulalah terjanjikan kekuasaan atas sesamanya.
Demi kertas itu, hati nurani rela tergadaikan, berkhianat pada Tuhan pencipta setan.

Jiwa mereka t’lah terpenjara dalam darah dan dagingnya sendiri.
Tiada lagi kedamaian batin, melainkan hanya pemuasan nafsu duniawi
Di kala terbangun, jiwanya tertidur; di kala tidur, jiwanya terbangun.
Kala berjalan, cepat sekali langkahnya bak tertohok bokongnya oleh bambu

Manakala jiwa-jiwa yang sakit itu semakin terombang-ambing dalam keraguan,
terhanyut dalam kesepian, serta dikejar rasa ketakutan,
air kata-kata menjadi obat pelipur lara.
Gemerlap lampu diskotik, serta gerak tari erotis perempuan malam,
menjadi hiburan penyesat jiwa.

Di hutan belantara itu, sang fajar enggan merekah.
Kokok ayam jantan tersenyap oleh deru mesin-mesin.
Embun pun enggan menetes, tak ada dedaunan segar tempat bermesraan.
Tiada gemerisik dedaunan dibelai oleh semilir angin,
Yang ada hanyalah angin panas bercampur debu menerpa muka-muka keras penghuninya
Menambah kerut merut di dahi serta kerasnya hati.

3/
Inilah hutan metropolitan
Di mana penghuninya t’lah menjadi budak sang waktu.
Di mana manusianya menjadi pengikut nafsu angkara murka.
Di mana jiwa-jiwa penggerak jasad t’lah bersujud pada kenikmatan duniawi.
Di mana mereka semua percaya bahwa kebahagiaan didapat melalui pemenuhan nafsu

Apabila makhluk-makhluk ini diperintahkan berkaca, gemetarlah seluruh tubuh mereka.
Terlihat kerut-merut di dahi menemani garis-garis keras otot muka.
Kala mereka paksakan diri tersenyum, hambar dan tiada makna.
Tertegun diri mereka; bertanyalah mereka serta merta: “Inikah diriku? Inikah diriku?”

Namun semua t’lah terlambat, mereka t’lah tenggelam terlalu dalam;
tak kuasa mereka khazankan hati untuk kembali ke permukaan.
Sampai tiba nanti saatnya, di kala badan lumpuh tiba-tiba,
atau jantung berhenti berdenyut serta merta, karena hasrat melampaui daya.
Di saat itu pulalah cermin tempat mereka berkaca pecah berhamburan,
menjadi kepingan-kepingan nan tak mungkin direkatkan kembali

4/
Nun jauh di sana,
Di antara padi-padi yang menguning, di tengah semilir angin beraromakan tanah dan rerumputan, sang anak gembala penunggang kerbau masih asik berkemasyuk diri dengan serulingnya.
Lantunan suara seruling bambu, berbaur dengan kicau burung di ladang, menambah indah dan khidmatnya hari.
Sang surya sepenggalah bersinar dengan hangatnya, membelai lembut tubuh sang bocah.

Jernih nian sinar matanya, senyum enggan terlepas dari bibirnya.
“Kala kupulang siang nanti, ibu pasti telah menyiapkan sayur daun singkong kesukaanku”, pikir sang bocah sambil tersenyum lepas.
Mentari pun tersenyum, pepadian pun menari gemulai bersama semilir Sang Angin
Bumi pun berbahagia, tiada segannya menumbuhkan kekayaan nabati.
Air sungai pun ikut beriak dengan riangnya, mengalir menyuburkan
Alam persada turut berbahagia bersama si anak gembala penunggang kerbau

Esok harinya, sang fajar kembali merekah dengan agungnya,
Ayam jantan kembali berkokok bersahut-sahutan dengan nyaringnya
Embun pagi kembali menetes menyejukkan pagi
Dedaunan bambu kembali bergemerisik berdendang ria
Dan sang anak gembala kembali melantunkan lagu dengan seruling bambunya.
Alam semesta berpadu penuh khidmat menyuarakan kedamaian.

5/
Pada belahan lain bumi pertiwi,
Di sela-sela belantara beton.
Zombie-zombie berwujud manusia memulai aktivitas mereka.
Menggadaikan hati nurani , mengejar uang, dan dikejar sang waktu.
Menggapai bahagia nan tak kunjung datang

Tiada ingatkah mereka bahwa air sungai pun
kan kembali ke lautan?
Menjadi ombak dan kembali ke tepian.
Pecah berhamburan menjadi buih-buih nan tiada arti.

Wahai sang anak gembala, bantulah jiwa-jiwa yang t’lah tersesat jalan itu.
Ulurkanlah tanganmu, ajaklah mereka bersama dikau menunggang kerbau,
Bersama-sama meniup seruling, bermesraan dengan alam persada.
Agar terbuka mata mereka akan indahnya dunia,
Supaya terbuka mata hati mereka akan khidmat kehidupan.
Agar hati bertaut rasa, dan kalbu bertumpu rasa
Dan mungkin saja, terkecap jua oleh mereka apa yang dinamakan bahagia

By:
Muhammad Iqbal
February 16, 2001
Kusumaatmaja 61